Pemali: Media Komunikasi Antarbudaya Pemelajar BIPA

Sebagaimana kita ketahui, masyarakat Indonesia sangat akrab dengan istilah pemali. Namun tidak banyak masyarakat yang berupaya mengungkap makna dibalik kata pemali yang dikatakan orang tua kita. Sebagian masyarakat hanya meyakini sesuatu yang dianggap pemali merupakan sesuatu yang tabu dan tidak perlu dipertanyakan alasan ketabuannya. Sebagian lain hanya percaya jika melanggar pemali, sesuatu yang buruk akan menimpa pelanggar aturan adat tersebut.

Itu sebabnya ketika kita berkunjung ke suatu tempat tertentu dan mendengar penduduk setempat mengatakan pemali untuk tidak melakukan/mengatakan hal-hal tertentu, kita pun mematuhinya. Bisa jadi patuh karena percaya pada dampak pelanggaran aturan tersebut atau mengikuti aturan sekadar menghormati aturan yang berlaku tanpa ada rasa keyakinan sedikit pun. Ibarat pepatah:di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.

Namun bagaimana halnya jika hal tersebut terjadi kepada pemelajar BIPA? Apakah mereka sekonyong-konyong percaya atau malah berpikir bahwa hal tersebut penuh dengan ketidaklogisan yang berimbas pada penilaian secara umum terhadap budaya Indonesia. Untuk menjembatani hal tersebut, tentulah pengajar BIPA harus membekali diri dengan kompetensi komunikasi antarbudaya. Dengan kompetensi komunikasi antarbudaya, pengajar BIPA dapat mentransfer pemahaman kepada pemelajar BIPA. Terlebih untuk meminimalkan friksi yang didasari adanya gegar budaya.

Tentu saja persoalan pemali menjadi hal yang hampir tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Karena pemelajar BIPA belajar bahasa Indonesia, terlebih lagi bagi mereka yang belajar langsung di Indonesia, tentu akan bersinggungan dengan hal-hal ini, baik secara langsung maupun tidak. Sebagai contoh, pernah suatu kali topik pembelajaran di kelas BIPA membahas tentang cerita rakyat yang ada di Indonesia. Dalam cerita rakyat yang dibahas, tertera adanya larangan dalam bentuk dialog: “Tidak boleh, itu pemali”. Kemudian pemelajar BIPA bertanya mengapa di Indonesia banyak sekali cerita tentang hantu dan ada banyak hal yang tidak boleh dilakukan karena hal yang tidak jelas? Tentu saja maksudnya adalah banyaknya cerita horor yang berkembang terkait dengan penunggu suatu tempat berupa kuntilanak, pocong, genderuwo, tuyul, buto ijo, dan sebagainya_ditambah lagi adanya larangan-larangan berupa pemali, misalnya tidak boleh duduk di muka pintu karena akan susah mendapatkan jodoh.

Untuk menyikapi hal tersebut, pengajar harus mempunyai kemampuan untuk menjelaskan dengan logis sesuai dengan latar belakang pemelajar. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menafsirkan penjelasan pengajar. Pengajar dapat menjelaskan bahwa pemali-pemali tersebut merupakan cara mudah masyarakat untuk mengatur keharmonisan hidup. Pengajar dapat memberi penjelasan logis tentang larangan duduk di muka pintu. Makna larangan tersebut adalah jika seseorang sangat gemar duduk di muka pintu, tentu saja jodohnya jauh karena dia akan dilihat oleh tetangga sebagai orang yang malas sebab setiap hari hanya duduk di muka pintu dan tampak tidak memiliki aktivitas. Sudah pasti tidak ada orang yang mau berjodoh dengan seorang pemalas.

Contoh lain terkait dikenalnya banyak hantu di Indonesia menunjukkan keragaman budaya dan kekayaan alam Indonesia. Wilayah Indonesia yang memiliki banyak gunung, hutan, danau, dan sumber alam lainnya harus dijaga dengan cerita penunggu suatu tempat. Dengan begitu, masyarakat tidak akan mengganggu penunggu tempat. Jika penunggunya diganggu, akan terjadi kekacauan dan kesialan yang menimpa penduduk sekitar. Tempat tersebut pun tidak lagi dikeramatkan dan akan berpotensi rusak. Alhasil, kelestarian tempat dan keseimbangan alam pun akan terganggu. Itu sebabnya dalam cerita yang berkaitan dengan pohon beringin atau pohon bambu, acap kali dikaitkan dengan adanya kuntilanak sebagai penunggu. Jika dilihat dari segi ekologi, adanya pohon beringin dan bambu menandakan adanya sumber air di sekitar pohon tersebut dan menjaga tanah agar tak mudah longsor.

Pemali yang sangat akrab dengan kehidupan masyarakat Indonesia merefleksikan kearifan dan keharmonisan hidup. Berbekal pemahaman budaya dan kompetensi komunikasi antarbudaya, diharapkan pemelajar BIPA akan lebih mencintai budaya Indonesia yang akrab dengan aturan-aturan adat. Anggapan-anggapan yang kurang baik pun dapat diminimalkan sehingga pemelajar BIPA tak lagi beranggapan di Indonesia banyak hantunya. [Ridzky Firmansyah Fahmi]