Sebagai jurnal ilmiah bereputasi internasional, dengan indeks Scopus Q2 dan Sinta 1, IJAL menerima lebih dari 100 manuskrip lebih dalam sebulan. Jika dalam periode satu volume (empat bulan) dirata-ratakan, berarti Tim IJAL harus menyaring sekira lebih dari 400 manuskrip yang akan menjalani proses selanjutnya. Memilih 20-25 manuskrip terbaik dari sekira 400 judul manuskrip tentunya bukan perkara sederhana, kalau tidak boleh dianggap mudah. Ada banyak variabel yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan. Untuk itu, sebelum manuskrip masuk ke proses editing, sekurangnya akan ada empat tahap yang dilalui oleh sebuah manuskrip, antara lain (1) compliance check oleh Seksi Administrasi Tim IJAL; (2) initial screening oleh Kordinator Tim IJAL, (3) Desk Evaluation oleh para evaluator yang memahami teknik tulisan akademik, dan (4) blind review oleh para reviewer yang sangat memahami bidang-bidang linguistik terapan.
Pada tahap compliance check, salah satu alat yang selalu digunakan oleh Tim Administrasi IJAL adalah memeriksa cara penulis menulis namanya di manuskrip. Jika ada penulis yang menulis namanya dengan gelar akademik, baik gelar sarjana, magister, maupun doktoral, dapat dipastikan manuskrip tersebut akan langsung tertolak. Mengapa? Ini adalah pertimbangan mendasar yang sangat mudah sekali dijelaskan. Dalam pedoman penyusunan manuskrip untuk IJAL, telah dijelaskan bahwa penulis hanya menuliskan namanya, tanpa gelar akademik apa pun. Tim IJAL berasumsi bahwa jika compliance pada aturan paling sederhana seperti soal nama saja gagal dipenuhi oleh sebuah manuskrip, apalagi compliance pada aturan-aturan lain yang lebih kompleks dalam penyusunan manuskrip.
Perlu dikemukakan pula, bahwa cara penulisan nama penulis seperti tersebut bukan hanya berlaku di IJAL. Cara penulisan nama seperti ini merupakan konvensi dalam penulisan nama pada karya ilmiah. Seluruh jurnal, prosiding, atau kumpulan tulisan ilmiah lain yang dikelola dengan benar akan sangat menjunjung tinggi konvensi penulisan nama ini. Para pengelolanya yang berdedikasi dan paham juga akan terus mempertahankan konvensi ini. Bagian yang paling merepotkan adalah jika penulis tulisan ilmiah sendiri tidak memahami konvensi ini.
Sebagai contoh lain, dalam pengalaman beberapa kali penyelenggaraan CONAPLIN (Conference on Applied Linguistics) yang rutin digelar Balai Bahasa UPI setiap tahun, Tim IJAL yang biasa memegang pengelolaan prosiding juga sering mendapat protes dari para penulis artikel prosiding yang tidak memahami konvensi ini, mulai dari yang paling sopan seperti di bawah ini.
“Pak, kenapa gelar saya dihapus?”
“Bu, kenapa nama saya jadi enggak ada gelarnya ya?”
“Mas, maaf ya, ini kok gelar saya jadi tidak ada ya?”
Sampai yang tetiba marah-marah seperti berikut.
“Kamu tahu tidak, Saya kuliah berapa tahun untuk mendapat gelar DOKTOR?! Seenaknya saja menghapus gelar orang?!”
Sebagian orang mungkin bertanya-tanya, kalau tidak ditulis di depan atau belakang nama, untuk apa susah-susah sekolah sampai lulus dari perguruan tinggi? Apalagi jenjang S3 begitu loh.
Selain bahwa penulisan nama pada tulisan ilmiah adalah soal konvensi akademik yang harus dijunjung tinggi, pertanyaan semacam itu tentu saja salah karena pada hakikatnya orang sekolah dan belajar, bukan untuk mendapatkan gelar maupun ijazah. Tujuan orang sekolah dan belajar secara formal adalah membentuk dan menyempurnakan ilmu, pengetahuan, keterampilan, sikap, mental, maupun kepribadian secara keseluruhan.
Bahwa gelar dan ijazah itu penting tentunya memang tidak dapat dibantah. Akan tetapi, perlu diingat pula bahwa gelar dan ijazah adalah sebatas pembuktian administrasi tentang proses formal belajar yang telah dilalui di lembaga perguruan tinggi, tidak lebih dari itu. Ijazah dan gelar tentu diperlukan untuk menyatakan bahwa seseorang yang telah belajar dianggap layak atau memiliki kompetensi keilmuan tertentu, maka penulisan gelar yang menyertai nama dalam hubungannya dengan pekerjaan atau jabatan dapat relevan. Dalam konteks lain, ini tentu saja tidak.
Contohnya, jika seorang Doktor Filsafat dalam bidang linguistik menulis gelar Dr. di depan namanya ketika menulis dirinya sebagai penyumbang sembako di Balai Desa, tentu ini tidak relevan. Lain halnya jika ia hendak mengajar di dalam sebuah mata kuliah Linguistik, Gelar Dr. harus dicantumkannya sebagai bukti administrasi bahwa ia memiliki kompetensi untuk mengajar dalam mata kuliah linguistik dan ia dianggap memiliki kompetensi atau otoritas keilmuan untuk melakukan transfer ilmu.
Dalam persoalan menulis akademik, apakah itu juga bukan pekerjaan yang perlu dilihat secara kompetensi gelar? Sekali lagi, konvensi ini tentunya muncul dari tradisi panjang pengelolaan tulisan ilmiah. Perlu kembali ditekankan, bahwa gelar dan ijazah bukan jaminan nyata yang terukur tentang kontribusi yang dapat disumbangkan oleh seseorang dalam tulisan. Sekalipun seseorang memiliki nilai akhir 4.0 atau A untuk semua mata kuliah dengan predikat summa cum laude, dengan tulisan tinta emas di ijazah, itu bukan jaminan yang bisa menyatakan bahwa tulisan Anda akan lebih sempurna daripada mereka yang hanya lulus sekolah pada jenjang yang lebih rendah. Dalam bidang literatur keilmuan, kontribusi bukan soal gelar apa pun, tapi soal kualitas dari apa yang Anda tuliskan sesuai bidangnya masing-masing.
Hal tersebut masih dalam aspek teoretis dan literatur ilmu. Apalagi dalam konteks penerapan ilmu dan manfaatnya di tengah masyarakat. Banyak sekali bukti soal itu. Bill Gates yang tidak selesai kuliah di Harvard menunjukkan fakta bahwa kontribusi yang dia berikan terhadap masyarakat jauh lebih hebat daripada doktor-doktor terbaik yang pernah lulus dari Harvard.
Celakalah masyarakat ilmu dalam suatu negara jika banyak golongan yang mengaku cendekia, tetapi tidak paham urusan semacam ini. Mental pemburu ijazah berharga jutaan rupiah hanya untuk mendapatkan prestise, bukan mental ilmuwan. Bukankah gelar yang tinggi hanya akan menjadi bahan tertawaan, jika seseorang tidak dapat menulis manuskrip yang berfaedah secara saintifik sesuai dengan gelar dan ijazahnya? Bukankah tindakan semacam itu hanya kepura-puraan? Pura-pura cendekia, padahal TIDAK. [Mahardhika Zifana]